Oleh Wawan Hamzah Arfan

Mohammad Hatta, atau lebih akrab dengan sapaan Bung Hatta adalah salah seorang tokoh bangsa yang berkepribadian luhur, penuh dedikasi dalam membangun bangsa ini. Beliau merupakan tokoh penting, salah seorang proklamator, dan sebagai Wakil Presiden pertama mendampingi Bung Karno.

Bung Hatta merupakan salah satu tokoh dari sedikit pejabat yang semasa hidupnya sangat berpengaruh, baik sebelum atau sesudah kemerdekaan Indonesia. Kepribadian beliau patut menjadi teladan bagi generasi saat ini. Keteladanan beliau tidak terlepas dari gaya hidupnya yang sederhana, jujur, dan bijaksana.

Berbicara masalah kepribadian Bung Hatta sebagai tokoh pejabat boleh dikatakan luar biasa, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Namun dalam kesempatan ini saya hanya akan menyoroti masalah kedisiplinan beliau dalam melaksanakan tugas sebagai tokoh bangsa atau dalam kehidupan sehari-hari.

Kedisiplinan Bung Hatta memang begitu istimewa dan tidak diragukan lagi, karena dalam setiap kegiatan apa pun beliau selalu tepat waktu. Beliau tidak menyukai keterlambatan walau semenit pun. Beliau selalu menepati janji dalam situasi apa pun, dan tepat waktu. Itulah sebabnya beliau dikenal dengan julukan ‘manusia jam’.

Sebagai warga negara Indonesia, saya merasa sangat prihatin melihat situasi saat ini. Para tokoh masyarakat atau para pemimpin bangsa sudah tidak lagi memiliki jiwa seperti Bung Hatta. Jangankan memiliki kepribadian yang utuh seperti Bung Hatta, satu saja kepribadian yang dimiliki beliau masalah disiplin, sungguh sangat sulit. Para pemimpin saat ini pada umumnya sudah tidak lagi memiliki jiwa disiplin. Sepertinya disiplin itu sudah bukan lagi suatu yang harus dijadikan sikap yang berarti.

Sebagai contoh yang sangat sederhana, yaitu apabila ada acara pertemuan, atau kunjungan yang dihadiri seorang pemimpin, biasanya sering tidak tepat waktu. Acara yang sudah ditentukan oleh panitia penyelenggara, misal pukul sekian, pemimpin atau tokoh yang ditunggu kehadirannya datang tidak tepat waktu, dan umumnya datang melebihi waktu yang ditentukan. Keterlambatan itu bisa lebih dari tiga puluh menit, satu jam, atau berjam-jam, bahkan sampai tidak datang tanpa pemberitahuan dan alasan yang jelas. Anehnya keadaan seperti itu sudah bukan rahasia umum, dan masyarakat pun sudah menganggapnya sebagai hal biasa dan wajar. Sehingga tidak heran apabila masyarakat pada umumnya berkomentar: ” Tidak aneh, bukan pejabat namanya kalau tepat waktu. Juga bukan Indonesia namanya kalau tidak ngaret.” Bila kenyataannya sudah seperti itu, maka masyarakat sudah menilai bahwa disiplin itu tidak penting. Makanya apabila saya menerapkan disiplin, tepat waktu, mereka akan mengatakan: “idealis, tidak umum, dan menyiksa diri”.

Apa yang saya contohkan di atas, dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, sudah menjadi makanan pokok sehari-hari dalam hal karet mengaret. Hal seperti itu pun berlaku sampai di tingkat paling bawah yaitu Desa, dan bahkan lebih memprihatinkan lagi, malah ada semacam pengkondisian waktu. Mengapa saya katakan sebagai pengkondisian waktu?

Pengkondisian waktu yang saya maksud adalah seperti yang pernah saya alami. Begini ceritanya, suatu hari di tempat di mana saya tinggal, seorang Kepala Desa ingin mengadakan pertemuan dengan beberapa para tokoh masyarakatnya, kemudian Kepala Desa menugaskan Sekretaris Desa (Sekdes) untuk membuat surat undangan, waktunya pukul 09.00.

Apa yang terjadi dan tertulis, ternyata waktu yang tertulis dalam surat undangan berubah pukul 08.00. Kebetulan pada saat itu saya berada di kantor desa, sedang berbincang-bincang dengan Kepala Desa. Tentu saja melihat situasi seperti itu saya sangat terkejut. Kemudian saya bertanya kepada Sekdes, “mengapa di surat undangan waktunya berubah?” Dengan santai dan tanpa ada beban Sekdes itu menjawab dengan lantang: ” Jika di dalam surat undangan tertulis sesuai yang direncakan pukul 09.00 maka acara akan bisa dimulai pukul 10.00 atau lebih. Karena itulah saya tulis di undangan pukul 08.00. agar acara bisa berlangsung sesuai rencana. Karena hal semacam itu sudah biasa dan umum. Sebab, setiap mengadakan pertemuan selalu molor alias ngaret antara satu sampai dua jam.” Sementara Kepala Desa tak berkomentar apa-apa, hanya cukup tersenyum ketika menyaksikan ketidakcocokan saya dengan apa yang telah dilakukan Sekdes. Atas dasar itulah saya katakan sebagai “pengkondisian waktu”.

Apa yang saya ceritakan di atas sudah sangat jelas, bahwa hal itu tidak mencerminkan sikap disiplin. Sudah barang tentu sangat bertolak belakang dengan pribadi Bung Hatta. Andai saja Bung Hatta masih hidup, pastilah akan sangat sedih melihat situasi seperti yang terjadi di negeri ini. Makanya tak perlu heran apabila korupsi makin hari makin merajalela. Bahkan dengan situasi pandemi covid-19 yang berkepanjangan ini pun korupsi makin beraksi menyiasati situasi.

Apabila para tokoh bangsa memiliki kedisiplinan hidup seperti Bung Hatta, tentu akan bisa menekan perilaku seseorang melakukan korupsi. Karena kedisiplinan seseorang setidaknya mampu mempengaruhi dirinya untuk berperilaku hidup sederhana. Hanya sayangnya, kisah perjalanan hidup Bung Hatta yang sangat mengagumkan dengan kesederhanaannya, oleh para tokoh bangsa saat ini mungkin dianggap sebagai dongeng dari dunia antah berantah.

Keprihatinan lain adalah keadaan generasi muda saat ini yang mungkin mengenal sosok Bung Hatta hanya sebatas proklamator dan sebagai pendamping Bung Karno yang tertuang dalam naskah Proklamasi. Tanpa mengetahui perjalanan hidup Bung Hatta sebagai tokoh berpengaruh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang kini memasuki usia 76 tahun. Generasi muda saat ini sepertinya lebih mengagumi para tokoh khayalan yang ada dalam film, seperti Power Ranger, Tsubasa, Doraemon, Superman maupun Spiderman. Artinya, generasi saat ini sudah memasuki krisis kepahlawanan. Sehingga tidak mengherankan jika korupsi akan tetap tangguh dan tumbuh di mana-mana.

Selama tokoh bangsa tidak memiliki kedisiplinan tinggi, sepertinya tema 76 tahun HUT RI “Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh” hanya sebatas wacana. Karena tangguhnya Indonesia, tumbuhnya Indonesia apabila bangsa ini mampu menanam dan memupuk disiplin dengan baik.

Apa yang saya ungkapkan dalam tulisan ini, tidak bermaksud merendahkan para pemimpin bangsa saat ini. Semua itu hanya sebatas kerinduan akan munculnya pahlawan-pahlawan bangsa yang lebih tertuju pada generasi penerus sebagai harapan bangsa. Ada semacam keinginan saya untuk generasi muda agar mampu mengikuti jejak Bung Hatta. Sehingga generasi muda yang masih relatif bersih dan masih dapat dididik menuju kebaikan, dan tentunya diharapkan mampu melakukan perbaikan ketika mereka melanjutkan tugas sebagai pemimpin.

Namun yang pasti, kekaguman saya akan pribadi Bung Hatta sebagai teladan dan cermin hidup saya untuk selalu berbuat baik. Walaupun dalam hal ini saya bukan siapa-siapa, hanya sebagai seorang pendidik, setidaknya saya bisa memberikan contoh keteladan Bung Hatta kepada keluarga sendiri, dan anak-anak didik.

Keteladanan Bung Hatta yang selama ini mewarnai perjalanan hidup saya, terutama masalah disiplin, benar-benar sangat berarti. Setidaknya saya mampu menjalani hidup dan kehidupan ini dengan tenang, selalu bersyukur, walau apa adanya. Sehingga saya mampu bersikap untuk selalu menepati janji, dan selalu tepat waktu bila berjanji kepada siapa pun, sebagai wujud dalam menerapkan disiplin. Juga saya selalu berusaha untuk tidak terpengaruh oleh sesuatu hal dalam “membenarkan yang umum”, tapi saya selalu berusaha untuk “mengumumkan yang benar”, seperti yang ditanamkan Bung Hatta.

Akhirnya, saya hanya bisa menyimpulkan, bahwa “Orang yang selalu menghargai waktu, tidak akan dipermainkan oleh waktu.” Karena disiplin merupakan perilaku dalam menghargai waktu.

Cirebon, Juli 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *