oleh Wawan Hamzah Arfan

Tidak seperti biasanya Sardi begitu gelisah. Matanya yang lelah setelah sehariam tersiram keringat, sukar untuk dipejamkan. Sardi mondar-mandir kesana kemari dalam kamar, seperti orang kebingungan. Sesekali duduk di tempat tidur sambil menatap perut istrinya yang memang sudah besar. Berbagai macam pertanyaan memenuhi pikirannya. Belum lagi harapan-harapan yang digelarnya dalam menyambut kehadiran anak pertamanya nanti.

“Belum tidur, mas?” tanya istrinya.

Sardi terperanjat. Matanya menoleh ke istrinya yang masih terbaring.

“Belum,” jawab Sardi.

“Ada apa, mas? Kelihatannya gelisah sekali,” kembali istrinya bertanya sambil bengkit dari pembaringannya, lalu duduk di kasur sambil berhadapan dengan suaminya.

“Entahlah.”

“Pasti ada sesuatu yang membebani pikiranmu,” desak istrinya.

“Memang ada.”

“Apa itu, mas?”

“Ini!” jawab Sardi sambil mengusap-usap perut istrinya.

“Lho, bukannya malah senang kita bakal punya sesuatu yang amat berharga?”

“Bukan itu maksudku.”

“Lalu apa?”

“Bukankah kini kau hamil tujuh bulan?”

“Aku semakin tidak mengerti, mas.”

“Sebenarnya engkau mengerti, hanya belum tahu saja apa yang sedang kupikirkan. Sebagaimana adat kita, bila kandungan anak pertama menginjak bulan ketujuh, kita harus mengadakan selamatan. Itulah persoalannya.”

“Kukira masalah apa… Hanya persoalan kecil saja kok jadi pikiran.”

“Bagiku bukan persoalan kecil, karena sebagai seorang buruh harian, biaya untuk mengadakan selamatan tujuh bulan, cukup besar.”

“Aku mengerti, mas. Makanya aku tak menuntut itu.”

“Tapi apakah kau mampu menghadapi tuntutan masyarakat di sekitar kita?”

“Tuntutan apa?”

“Ya, kalau kita tidak melakukannya, mereka akan menuduh kita yang bukan-bukan. Orang yang tidak mau menghargai adat nenek moyang kita.”

“Biarkan saja mereka menuduh kita. Toh kita tak menyusahkan, apalagi merugikan mereka. Dan lagi soal selamatan tujuh bulan bukan ajaran Islam yang kita anut. Barangkali dengan tidak melaksanakan, itu lebih baik. “

“Tetapi bila kita tidak melaksanakannya berarti kita tidak bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat, lepas dari masalah ada dan tidaknya dalam ajaran agama kita. Dan aku tahu itu hanya adat istiadat yang diciptakan manusia.”

“Mas sendiri telah tahu, jadi mengapa harus jadi beban pemikiran?”

“Aku hanya ingin melakukan sesuai dengan umumnya masyarakat. Biar menjadi bagian dari masyarakat kita.”

Istri Sardi tersenyum sinis, sambil memperbaiki posisi duduknya.

“Mas, mas. Apa mas takut kalau kita tidak menyelenggarakan selamatan tujuh bulan, anak kita akan lahir lebih cepat, begitu?”

Sardi tersenyum. Matanya menatap tajam istrinya sementara tangannya mengusap-usap perut istrinya.

“Aku bahagia punya istri sepertimu. Sebenarnya aku hanya ingin mencoba, sejauh mana pandanganmu itu.”

“Siapa dulu suaminya?”kata istrinya meniru kata-kata dalam iklan.

“Siapa dulu istrinya?” kata Sardi tak mau kalah juga ikut menyanjung istrinya.

“Lalu apa yang membuat mas gelisah dan tak bisa tidur?”

“Ya, aku khawatir kau akan mendesakku mengadakan selamatan tujuh bulan. Masalahnya bukan karena tak punya biaya, tapi karena aku tak suka hal-hal yang mengada-ada seperti itu. Selain tidak ada manfaatnya juga tujuan selamatan itu tidak masuk akal. Pikirkan saja olehmu, masa anak pertama saja yang mendapat penghormatan diadakan upacara selamatan, sedangkan anak kedua dan ketiga atau seterusnya tidak mendapat perlakuan yang sama. Apa itu adil? Dan aku tak mau membeda-bedakan dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anak kita nanti,” jelas Sardi panjang lebar.

Untuk beberapa saat tak ada yang bicara. Hanya ada dua pasang mata saling tatap dan saling membalas senyum.

“Mas, kau tak gelisah lagi, kan? kata istrinya memulai lagi pembicaraan.

“Ya, malah sekarang aku sudah mulai merasa kantuk.”

“Tapi mas, aku… “ kata istrinya agak ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu.

“Ada apa? Katakanlah!”

“Mas mau memenuhi permintaanku?”

Memangnya kamu mau minta apa?”

“Pokoknya mas janji dulu tidak akan mentertawakannya bila aku mengatakannya nanti.”

Sardi hanya bisa menganggukkan kepalanya.

“Aku minta kain baru sebanyak tujuh warna dengan lebar sebesar ini,” pinta istrinya sambil menunjukkan telunjuknya.

“Untuk apa?” kata Sardi tak mengerti apa mau istrinya itu.

“Untuk menggantikan pisau ini,” kata istrinya sambil menunjuk pisau kecil yang menggantung di bajunya. Pisau itu dipasang istrinya, agar tidak ada gangguan terhadap anaknya.

Sardi semakin tak mengerti saja. Tapi akhirnya Sardi mau menyadari kalau wanita hamil suka minta yang aneh-aneh.

“Untung ia hanya minta kain baru sebesar telunjuk sebanyak tujuh warna. Bagaimana kalau ia minta mengusap-usap kepala Aridfin C. Noor?” bisik Sardi dalam hati.

“Apa mas merasa keberatan?” desak istrinya karena tak ada jawaban dari Sardi.

“Tidak! Apa sulitnya memenuhi permintaanmu itu. Dan besok pagi aku akan minta sama tukang jahit pakaian yang menjadi langgananku itu.”

“Terimakasih, mas.”

“Aku juga terimakasih, karena kau tidak minta telor gajah.”

Keduanya tersenyum. Dan tak lama kemudian, keduanya memasuki dunia mimpinya masing-masing.

JAM, hari, minggu dan bulan pun berlalu. Jantung Sardi mulai berdebar-debar, karena malam itu istrinya sudah mulai merasakan mulas-mulas. Segera dipanggilnya dukun beranak, karena kalau dibawa ke bidan atau ke rumah sakit yang jaraknya cukup jauh sudah tidak memungkinkan lagi, apalagi sudah tengah malam.

Belum lama dukun beranak memasuki kamar istrinya, terdengar suara tangis bayi di telinga Sardi.

“Alhamdulillah,” kata Sardi setelah ia mendapat kesempatan melihat bayi laki-lakinya yang berbadan montok itu. Kemudian dengan fasihnya Sardi mengumandangkan adzan dengan khidmat, sehingga tanpa disadarinya Sardi mengucurkan air mata.

“Anak kita laki-laki,” bisik Sardi setelah berada di samping istrinya yang masih merasakan lelahnya melaksanakan tugas hidup yang begitu agung dan luhur itu.

“Alhamdulillah,” kata istrinya dengan suara hampir tak terdengar.

“Nah, aku sudah tak sabar memberikan nama anak kita sekarang juga.”

“Siapa namanya?”

“Namanya Saptawarna. Artinya tujuh warna, seperti yang kau inginkan ketika hamil tujuh bulan, kain tujuh warna. Apalagi anak kita ini kebetulan lahir pada tanggal tujuh, bulan tujuh. Belum lagi kalau kita terjemahkan hari Sabtu ini merupakan hari yang mempunyai urutan ketujuh ,” kata Sardi gembira.

Dan keduanya pun tersenyum dalam tujuh warna.

1982

 

SIMPONI, Edisi 23 Desember 1992

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *