oleh Wawan Hamzah Arfan
Menarik sekali tulisan Mardhah Hayati yang dimuat Simponi edisi 11 Nopember 1992 dengan judul Perlukah Didirikan Televisi Untuk Anak? – sehingga tergerak hati saya untuk ikut ambil bagian menanggapi tulisannya itu.
Mardhiah di awal tulisannya mengatakan, “Pagi cerah itu siaran televisi menyajikan cerita boneka. Lalu muncul tokoh Gatotkaca. Dalam pikiran kita, ini mungkin satu usaha untuk menepis kepopuleran tokoh-tokoh anak berbau asing semacam Hulk, Superman, atau Batman. Baguslah, kata sebagian orang tua.”
Apa yang dikatakan Mardhiah itu cukup membuat saya terheran, yang katanya kehadiran tokoh gatotkaca untuk menepis kepopuleran tokoh-tokoh berbau asing. Apakah betul tokoh Gatotkaca tidak berbau asing? Padahal tokoh Gatotkaca itu sendiri datang ke negeri kita lewat cerita dari India. Hanya karena sudah mendarah daging – seakan-akan tokoh itu sudah menjadi milik kita dan tak berbau asing. Tetapi menurut hemat saya, tokoh Gatotkaca tetap berbau asing. Dan sebenarnya tokoh itu tak perlu dipermasahkan – apalagi hanya sekedar mimpi. Karena memang dunia anak adalah dunia mimpi dan khayal, walau memang tidak sepenuhnya mimpi dan khayal selalu ada pada diri anak. Dan kita tidak bisa memungkiri, bahwa dunia anak identik dengan dunia khayal. Memang benar apa yang dikatakan Takahashi Katsuo, pakar animator asal Jepang, bahwa televisi menduduki tempat yang utama bagi anak-anak di rumah – sebagaimana dikutip oleh Mardhiah. Tetapi terlalu berlebihan kalau Mardhiah berharap sesuatu sebagaimana dikatakan dalam tulisannya itu, bahwa kalau muncul kemauan baik untuk mendirikan stasiun televisi khusus untuk anak, hal itu bukan berarti sia-sia.
Lepas dari masalah sia-sia atau tidak bila ada yang mau mendirikan stasiun televisi khusus untuk anak, tapi siapa yang mau peduli dengan itu semua? Karena menurut hemat saya, televisi bukanlah semacam buku bacaan atau barang-barang lainnya yang bisa dipilah-pilah – ini untuk anak, ini untuk remaja, dan ini untuk dewasa. Televisi adalah media yang sifatnya majemuk, seperti halnya radio – yang tidak bisa menyajikan hanya satu paket tertentu. Dan kaupun ada yang nekad untuk mendirikan stasiun televisi untuk anak, memang tidak akan sia-sia, tetapi akan membuat proyek itu merugi. Nah siapa orangnya yang mau membuka proyek rugi di zaman yang penuh dengan spekulasi ini?
Dan saya sependapat sekali dengan pernyataan Francois Mariet, pengamat televisi Perancis yang dikutip Mardhiah, bahwa sebenarnya kebanyakan televisi adalah produk yang sejalan dengan hukum ekonomi pasar bebas, yang akhirnya bertujuan utama untuk menghibur masyarakat dalam khasanah komersil.
Apa yang dikatakan Mariet itu ternyata menjalar juga dalam tubuh TPI, televisi swasta yang memfokuskan khusus dalam dunia pendidikan, tetapi kenyataannya tidaklah demikian – kadar hiburan lebih utama dari pendidikan. Bahkan sejak 28 Oktober lalu, TPI membuka siaran malam hari. Maka lengkaplah sudah, bahwa TPI yang tujuan semula sebagai media pendidikan akhirnya menyerah juga pada hukum pasar ekonomi bebas atas tekanan komersialisasi yang semakin berkuasa.
Atas dasar itu, jangan mimpi apalagi berharap adanya televisi khusus untuk anak selama bisnis dan komersialisasi masih seiring dan sejalan. Dan kalaupun ada, jangan-jangan hanya sebagai kedok untuk membuka peluang dalam ikut ambil bagian bermain spekulasi bisnis. Dan biarlah televisi berjalan dengan sendirinya sebagai media hiburan, jangan dituntut sebagai sebagai media pendidikan, media perkembangan anak, atau apalah namanya. Justru hanya akan semakin tak beraturan saja sasarannya.
Adapun dampak dari paket acara yang ditayangkan televisi adalah hal yang wajar saja, bisa berdampak positif juga negatif. Karena segala sesuatu yang tercipta dari yang bernama ‘teknologi’ selalu punya resiko – seperti halnya hidup itu sendiri yang tak bisa berlari dari risiko baik dan buruk. Tergantung bagaimana kita memilahnya, walau pada akhirnya risiko itu berjalan silih berganti. Tetapi yang jelas, munculnya televisi untuk anak akan membuat lembaga sekolah sebagai tempat bermain, karena di rumah anak tak sempat bermain sepuasnya – melulu menjaga televisi . Yang pada akhirnya dunia pendidikan akan semakin morat-marit – sekarang saja dunia pendidikan di tanah air kita sudah begitu memprihatinkan, karena terlalu seringnya mengotak-atik kurikulum sehingga lupa kalau kenyataan itu ternyata tidak menarik jika dibandingkan dengan impian si Komo. Dan hanya itu yang bisa saya sampaikan.
SIMPONI, Edisi 25 Nopember 1992