ilustrasi sastra

Oleh Wawan Hamzah Arfan

TAK ada salahnya kalau dalam kesempatan ini saya ikut nimbrung sebagai orang ketiga sehubungan dengan terjadinya polemik (yang lebih sederhanya adu argumen) antara Bambang Sugiarto dengan Made Casta.

Akar polemik tersebut bermula dari sebuah tulisan Made Casta yang dimuat ‘PR’ Edisi Cirebon pada awal Juni 1992, yang menyoroti sebuah Cerita Pendek ‘Si Pion’ karya Bambang Sugiarto. Kemudian permasalahan itu tumbuh kembali dengan hadirnya sebuah tulisan Bambang Sugiarto yang berjudul ‘Sang Guru Menilai Sastra’ (PR Edisi Cirebon Minggu II Oktober 1992)- disusul pada minggu berikutnya dalam media yang sama tulisan Made Casta, yaitu ‘Pertemuan Dua Garis’.

Ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan di sini atas permasalahan yang diperdebatkan oleh kedua penulis tersebut. Namun dalam hal ini saya tidak bermaksud menyudutkan yang satu dan membela yang lainnya – hanya ingin memberi jalan keluar sesuai dengan wawasan yang saya miliki.

Tulisan Bambang Sugiarto, ‘Sang Guru Menilai Sastra’ yang maksudnya sebagai bela diri atas hantaman Made Casta tidak mengenai sasaran – malah saya lihat sebagai senjata makan tuan. Dan lagi sangat disayangkan sekali, sebagai seorang pengarang Bambang Sugiarto terbawa arus emosional pribadi, sehingga tidak jelas apa yang dipermasalahkan, kecuali melecehkan wawasan seorang guru yang sepertinya tak tahu apa-apa  tentang sastra. Seperti yang dikatakannya di awal tulisan. Mungkin redaktur terlupa kalau tulisan MC (Made Casta) “Si Pion. Kisah menyesatkan tak lebih kepompong sastra yang tak juga vulgar, melainkan konsepsi seorang guru dalam proses belajar mengajar, yang mestinya berada di ruang pendidikan, nyasar di ruang Seni dan Budaya.”

Apa yang dikatakan Bambang dalam pembelaannya itu sungguh tidak beralasan, karena persoalannya nyerempet-nyerempet ejekan secara pribadi yang jelas-jelas di luar persoalan sastra yang sedang diperdebatkan. Seharusnya kita bisa membedakan antara persoalan pribadi dengan persoalan sastra, jangan dicampur aduk begitu saja. Dan silakan kita berdebat habis-habisan tentang sastra sesuai dengan keyakinan dan kebenaran masing-masing. Jangan sampai karena merasa dipojokkan, seperti halnya yang dialami Bambang kemudian menuduh lawan polemik sebagai seorang ‘guru’ yang tak pantas atau kurang mengetahui apa-apa tentang sastra. Padahal siapapun orangnya dan apapun jabatannya boleh ikut ambil bagian dalam mengecimpungi dunia sastra, juga dalam menilai hasil karya sastra.

Dalam hal ini saya sependapat dengan apa yang dikatakan Made Casta dalam menanggapi tulisan Bambang Sugiarto: “Sayang, BS tampak mengesampingkan pendapat Sanento Yuliman dengan alasan karena Sanento bukan tokoh sentral dalam sastra. Bagi saya sikap seperti ini tidak tepat. Saya lebih mengutamakan apa yang dibicarakan bukan siapa yang berbicara.

Maaf, saya sependapat dengan Made Casta bukan karena sama-sama satu profesi sebagai guru – hanya faktor kebetulan saja. Dan lagi saya berbicara di sini bukan atas nama guru, tetapi atas nama Wawan Hamzah Arfan sebagai penikmat sastra yang sedang mencoba menjelajah dunia sastra yang penuh dengan teka-teki fiksi.

Barangkali Bambang Sugiarto lupa bahwa karya sastra bersifat relatif – tergantung dari sudut mana seseorang menggantungkan pandangannya dalam menyoroti karya sastra. Dan siapa pun orangnya, mempunyai hak untuk menilai karya sastra – selama karya sastra itu sudah menjadi milik masyarakat. Sebab kita harus ingat, bahwa karya sastra (apakah itu cerpen, puisi, maupun novel) bukan hanya milik sastrawan ataupun kritikus sastra, tetapi milik siapa saja yang mau ikut dalam ambil bagian di dalamnya. Karena sampai saat ini saya belum pernah mendengar adanya batasan atau ketentuan yang menyatakan tentang ketidaksahan orang di luar sastrawan dalam menyoroti hasil karya sastra, atau menyoroti kehidupan yang ada dalam dunia sastra.

Kebebasan

Seorang pengarang punya kebebasan untuk berbicara apa saja dalam membangun sebuah cerita sesuai dengan apa yang diinginkannya. Tetapi bila karya itu sudah dilempar ke masyarakat, adalah urusan pembaca (penikmat) dalam menyoroti atau menikmati karya itu, sedangkan si pengarang sudah tidak punya urusan lagi tentang hal itu terserah apa maunya pembaca dalam menyoroti karyanya itu, sesuai dengan wawasannya masing-masing yang sudah barang tentu beraneka ragam.

Dan apabila ada seorang pembaca dalam menyoroti sebuah karya kurang bisa diterima, pengarang yang bersangkutan sudah tidak punya kebebasan lagi untuk berbicara dan menanggapinya. Serahkan saja pada pembaca lainnya untuk menanggapi dan ikut ambil bagian di dalamnya. Karena pengarang yang baik, adalah pengarang yang tahu akan tugasnya – yaitu mengarang dan mengarang, bukannya ikut mendikte apalagi menggiring pembaca ke alam pikirannya tentang sebuah karya. Bukankah yang namanya penilaian adanya pada orang lain, bukan pada dirinya sendiri? Karena bagaimana pun juga, kekurangan dan kelebihan kita akan dapat terlihat dengan jelas oleh orang lain, dan bukannya oleh diri kita sendiri yang memang maunya punya nilai lebih.

Terus terang keprihatinan saya akan keberadaan pengarang-pengarang muda Cirebon semakin lengkap saja. Karena sebelum Bambang Sugiarto, juga pernah dilakukan oleh Saptaguna yang merasa keberatan ketika cerpennya yang berjudul ‘Tarini’ mendapat sorotan dari Syaefullah (baca: Saptaguna, Minggu II Juli 1992, PR Edisi Cirebon)

Memang tidak ada hukum atau undang-undang yang melarangnya kalau seorang pengarang membela diri bila karyanya diserang habis-habisan, tetapi itu tidak etis. Mengapa repot-repot mempublikasikan karyanya kalau tidak mau dikritik – barangkali akan lebih baik dan aman apabila disimpan saja sebagai dokumentasi pribadi. Atau kalaupun ingin dipublikasikan , segeralah untuk memberi penilaian sendiri sebelum orang lain menilainya.

Akhirnya, saya ingin mengatakan. Tugas pengarang bukan untuk menterjemahkan karyanya kepada pembaca, melainkan menterjemahkan identitas dirinya kepada kebebasan mencipta dan kreativitas.

Pikiran Rakyat Edisi Cirebon/Bandung – Minggu III November 1992 halaman 6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *