oleh Wawan Hamzah Arfan

UMBU Landu Paranggi, Piek Ardijanto Supriadi, Rusli Marzuki Saria, dan Putu Arya Tirtawirya, yang oleh Lazuardi Adi Sage dikatakan sebagai ‘Bapak Asuh dalam dunia sastra.Karena memang mereka itu sangat memprihatinkan sekali nasib generasi muda yang selalu ditindas kekreativitasannya oleh sastrawan generasi tua. Maka dari itu tidaklah mengherankan kalau kehadiran mereka disambut baik oleh kalangan sastrawan generasi muda.

Orang-orang seperti mereka itu sangat jarang sekali. Karena pada umumnya sastrawan generasi tua hanya mementingkan nasib diri sendirinya saja. Apalagi mau rela berkorban membimbing apresiatif sastra generasi muda, melirik karya generasi muda saja sudah tidak mau. Kayaknya dunia sastra itu hanya milik sastrawan generasi tua., sedangkan generasi muda hanya ‘Ngontrak’. Tragis memang!

Mungkin saja kehadiran mereka (yang namanya tersebut di atas) disambut dengan sinis oleh sastrawan generasi tua. Karena kehadiran mereka dianggap sebagai senjata yang akan menganggu peristirahatannya di menara gading yang penuh dengan fantasi, dan mimpi-mimpi.

Dalam kesempatan ini saya tidak akan membicarakan satu persatu peranan mereka dalam membina sastrawan generasi muda. Karena sudah terlalu banyak orang membicarakannya. Saya hanya akan membicarakan peranan salah seorang di antara mereka, yaitu Putu Arya Tirtawirya, yang kalau dikatakan ia lebih keras berjuang tinimbang yang lainnya. Mengapa?

Sebagaimana kita ketahui, Baik Umbu, Piek, maupun Rusli dalam membimbing apresiasi sastra baru bersifat lokal (daerah), sedangkan Putu Arya Tirtawirya sudah bersifat ‘Nasional’ dengan Paguyubannya yang diberi nama Himpunan Penulis, Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N). Karena tanggung jawab yang dipikul oleh Putu Arya Tirtawirya lebih berat dari yang lainnya, selain harus sabar menerima rongrongan dari luar maupun dari dalam generasi muda itu sendiri. Yang sudah barang tentu sangat membutuhkan sekali tenaga, pikiran, dan kadang finansial yang harus keluar dari kocek Putu Arya sendiri.

Atas dasar itulah saya menilai Putu Arya Tirtawirya mempunyai kedudukan teratas jika dibandingkan dengan yang lainnya. Dan dalam hal ini saya tidak bermaksud menomersatukan Putu Arya dari yang lainnya. Sama sekali tidak! Saya tidaklah mempunyai maksud tertentu. Juga bukan berarti karena terlibat di dalamnya sebagai warga besar HP3N, yang kemudian memioskan Putu Arya Tirtawirya sebagai pahlawan sastra. Sekali lagi tidak! Saya bukanlah orangnya yang suka memitoskan seseorang, apalagi mempunyai maksud tertentu di balik semuanya itu.

Barangkali tidaklah berlebihan kalau saya katakan, bahwa Putu Arya Tirtawirya adalah satu-satunya orang yang berani melangkah lebih jauh demi perkembangan sastra kita di masa mendatang. Dengan HP3N-nya Putu Arya Tirtawirya mampu menggedor generasi muda di seluruh pelosok tanah air untuk lebih meningkatkan diri dalam menggeluti dunia tulis menulis (khususnya sastra). Seperti yang saya rasakan sendiri . Seandainya HP3N tidak pernah hadir di tanah air kita, mungkin jiwa sastra saya sudah melayang karena olah sudah tidak ada artinya lagi Tetapi rupanya jalan kemungkinan itu harus lain, dan sekarang saya masih segar bugar hidup dalam dunia sastra, walaupun sampai saat ini saya belum menghasilkan apa-apa, namun bagaimanapun juga saya telah mampu maju selangkah jika dibandingkan dari yang telah lalu.

Karena itu, menjelang akhir tahun 1988, dan menjelang hari jadi HP3N yang keempat, saya renungi diri saya. Hasilnya saya menulis surat kepada Putu Arya Tirtawirya dan menyatakan kepadanya bahwa ia adalah ‘guru’ dan saya sebagai muridnya. Bahkan Putu Arya-nya sendiri tidak pernah menganggap diri saya sebagai muridnya, melainkan sebagai mitranya. Walaupun ia tidak menganggap diri saya sebagai murid, saya tetap menganggap dia sebagai ‘Guru’ saya. Karena telah banyak membantu saya dalam memberikan dorongan untuk lebih kreatif dalam berkarya. ‘Guru’ bagi saya tidak mesti terjadi komunikasi langsung dalam artian khusus seperti yang terjadi di sekolah. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa, buku adalah guru yang sejati. Karena itu saya tidak merasa ragu lagi kalau Putu Arya Tirtawirya adalah guru sastra dalam dunia sastra.

Yang lebih penting lagi, selain Putu Arya Tirtawirya sebagai ‘Sang Guru’ dalam sastra, juga sebagai ‘Non Blok’ (pinjam istilah politik) dalam dunia sastra. karena ia telah membuat peta perjalanan baru bagi perkembangan sastra kita di masa mendatang, dengan tidak membuat kubu-kubu tertentu yang mengarah kepada blok-blokan. Misi yang dibawanya mengarah  kepada sikap saling menghormati dalam kebebasan mencipta, yang melahirkan keanekaragaman wawasan dan pemikiran , tetapi tetap satu tujuan.

Dan seandainya pada suatu saat nanti saya belum juga berhasil sebagai seorang sastrawan sampai akhir hayat saya. Itu bukan berarti kesalahan Putu Arya Tirtawirya sebagai guru saya. Tetapi kesalahan itu ada pada diri saya sendiri. Karena bagaimanapun juga , keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan tergantung diri kita masing-masing dalam menempuhnya. Orang lain hanya bisa membantu saja. Semoga tulisan saya ini jangan diasosiasikan kepada hal yang lain yang bukan pada tempatnya. Dan sekali lagi saya tidaklah bermaksud memitoskan Putu Arya Tirtawirya, dan mengesampingkan yang lainnya. Begitu!

 

NUSA TENGGARA, Jumat, 27 Januari 1989/IV

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *