oleh Wawan Hamzah Arfan

MASALAH pengajaran sastra di sekolah hingga saat ini masih merupakan teka-teki yang bisa dipecahkan. Padahal dalam seminar-seminar maupun dalam tulisan-tulisan di media massa, masalah pengajaran sastra sering mendapat sorotan tajam, tetapi tak pernah ada hasilnya. Pengajaran sastra di sekolah tetap memprihatinkan, bahkan semakin tak jelas identitasnya.

Ketidakberhasilan pengajaran sastra di sekolah, seperti banyak yang menyoroti adalah faktor guru yang lemah pengetahuannya tentang sastra. Di samping faktor lainnya, seperti buku-buku pegangan yang kurang memadai dengan perkembangan sastra itu sendiri.

Memang kita tidak bisa menuduh sepenuhnya kepada guru tentang ketidakberhasilannya mengajarkan sastra di sekolah. Tetapi bagaimanapun juga peran guru sangat menentukan sekali tercapainya sasaran pengajaran sastra yang tepat. Dan memang kenyataannya sebagian besar guru bersikap masa bodoh terhadap pelajaran sastra, lebih-lebih guru Sekolah Dasar. Barangkali masih bisa kita maklumi kalau guru Sekolah Dasar sangat mentah sekali pengetahuannya tentang sastra, karena memang tidak hanya satu dalam menangani mata pelajaran sastra – melainkan semua mata pelajaran diborongnya. Berbedan dengan guru Sekolah Menengah yang harus menangani satu mata pelajaran tertentu – yang dalam hal ini pelajaran sastra ditangani oleh guru Bahasa Indonesia. Tetapi nyatanya tidak hanya di Sekolah Dasar, di Sekolah Menengah pun pengajaran sastra begitu memprihatinkan.

Guru Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Menengah (baik SMP maupun SMA) yang pada mulanya ‘dicetak’ untuk memberikan pelajaran bahasa dan juga sastra, nyatanya lebih mengutamakan kebahasaan yang meliputi membaca, kosa kata, struktur, pragmatik, dan menulis. Sedang dalam memberikan pelajaran sastra hanya sepintas lalu, karena dianggapnya hanya sebagai pelengkap pelajaran bahasa – di samping penguasaan guru tentang sastra sangat dangkal sekali. Sehingga tidak mengherankan bila dalam menerima pelajaran  sastra, siswa hanya dituntut untuk menghafal nama-nama pengarang dengan judul karangannya, batasan-batasan sastra dengan contoh yang kurang jelas, serta istilah-istilah sastra. Padahal tujuan pengajaran sastra bukan untuk menghafal karya-karya sastra, melainkan agar siswa dapat menghargai dan merasakan sendiri hasil karya-karya sastra. Karena itu pengajaran sastra harus bersifat apresiatif, bukan verbalisme.

Di samping itu, buku-buku pelajaran sastra masih banyak ditemukan yang sudah tidak memadai dengan perkembangan sastra. Seharusnya, setiap lima sampai sepuluh tahun sekali buku pelajaran sastra harus mendapat perubahan. Padahal yang namanya sastra dari waktu ke waktu selalu berubah dan berkembang, tidak seperti pelajaran bahasa yang perubahannya sangat sedikit sekali – dan perubahan itu pun kurang begitu berarti.

Walau begitu, seorang guru yang mengajarkan sastra tidak harus terpaku pada buku pegangan yang ada, tetapi harus kreatif mencari sumber lainnya – seperti mengikuti perkembangan perkembangan sastra lewat media massa. Karena guru yang tidak berusaha meningkatkan garapannya sebagai guru sastra, tentu saja tidak mampu menyajikan sastra secara baik terhadap anak didiknya. Akhirnya banyak siswa yang sama sekali tidak memiliki kemampuan dan kegairahan membaca karya-karya sastra. Dan akibat guru yang tidak mau berusaha kreatif itulah yang menyebabkan pengajaran sastra semakin memprihatinkan.

Atas dasar itulah, tujuan pengajaran sastra di sekolah bukan untuk menciptakan siswa menjadi pengarang atau penyair, tetapi setidak-tidaknya siswa dapat pengalaman dan pengetahuan tentang sastra – di samping menghargai sastra sebagai bagian dari kebudayaan. Karena bagaimanapun juga peranan sastra dalam dalam kehidupan masyarakat sangatlah berarti. Sastra merupakan bagian dari kehidupan seorang anak manusia secara tidak langsung atau pun langsung.

SIMPONI Edisi 18 Agustus 1993.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *